kelompok 5B
METAMORFOSIS PADA INSECTA
Metamorfosis pada hewan
Insecta biasanya dialami oleh kelompok serangga bersayap (Pterygota). Dalam perkembangannya
menuju dewasa, Pterygota mengalami metamorfosis. Metamorfosis pada Pterygota
dapat dibedakan menjadi dua yaitu hemimetabola
dan holometabola.
- Hemimetabola, yaitu serangga yang mengalami metamorfosis tidak sempurna. Tahapan metamorfosis ini adalah telur, nimfa, imago. Contohnya kecoa, belalang, belalang sangit.
- Holometabola, yaitu seangga yang mengalami metamorfosis sempurna. Tahapannya adalah telur, larva, pupa dan imago. Contohnya nyamuk, lalat dan kupu-kupu.
Metamorfosis biasanya terjadi pada fase berbeda-beda. Dimulai dari larva atau
nimfa, kadang-kadang melewati fase pupa, dan berakhir sebagai spesies
dewasa/imago. Ada dua macam metamorfosis utama pada serangga, hemimetabola dan
holometabola. Fase spesies yang belum dewasa pada metamorfosis biasanya disebut
larva. Pada metamorfosis kompleks/ sempurna pada kebanyakan spesies serangga,
setelah telur menetas fase pertamanya kita sebut larva dan jika tidak sempurna
setelah telur disebut nympa (fase setelah menetas namun performa bentuknya
seperti dewasa hanya berkuran kecil )
Pada hemimetabola, perkembangan larva berlangsung pada fase pertumbuhan
berulang dan ekdisis (pergantian kulit), fase ini disebut instar. Hemimetabola
juga dikenal dengan metamorfosis tidak sempurna. Pada metamorfosis tidak
sempurna, serangga mengalami perubahan bentuk dari telur hingga dewasa yang
tidak mencolok dalam daur hidupnya. Bentuk larva atau bentuk pradewasanya
disebut nimfa. Nimfa memiliki kemiripan dengan bentuk dewasa (imago), kecuali
organ reproduksi dan sayap. Organ reproduksi dan sayap pada nimfa belum
berkembang. Baru setelah berubah menjadi serangga dewasa. organ reproduksi
berkembang dan serangga dapat bereproduksi. Pada metamorfosis tidak sempurna
tidak terbentuk tahap pupa. Pada metamorfosis tidak sempurna. Perubahan bentuk
yang terjadi adalah sebagai berikut :
|
Contoh serangga yang
mengalami metamorfosis tidak sempurna antara lain belalang, lipas (kecoa), dan
jangkrik.
Pada holometabola, larva sangat berbeda dengan dewasanya. Serangga yang
melakukan holometabola melalui fase larva, kemudian memasuki fase tidak aktif
yang disebut pupa, atau chrysalis, dan akhirnya menjadi dewasa. Holometabola
juga dikenal dengan metamorfosis sempurna. Sementara di dalam pupa, serangga
akan mengeluarkan cairan pencernaan, untuk menghancurkan tubuh larva,
menyisakan sebagian sel saja. Sebagian sel itu kemudian akan tumbuh menjadi
dewasa menggunakan nutrisi dari hancuran tubuh larva. Larva umumnya mengalami
molting empat kali sehingga terbentuk larva stadium satu hingga larva stadium
empat Pada tahap larva, umumnya serangga sangat aktif makan. Hal ini terlihat
pada tahap larva kupu-kupu yaitu ulat, yang sangat aktif memakan daun. Larva
stadium empat berubah menjadi tahap pupa. Pada tahap pupa, serangga tidak aktif
makan (periode puasa), tetapi proses metabolisme tetap terus berlangsung.
Setelah mengalami pertumbuhan dan pembelahan sel, diferensiasi dan
organogenesis, maka pupa akan berubah menjadi serangga dewasa (imago). Selama
metamorfosis, terjadi pengulangan proses seperti halnya pada pertumbuhan dari
perkembangan embrionik hingga akhirnya larva berubah menjadi bentuk dewasa.
Contoh serangga yang mengalami metamodosis sempuma antara lain kupu-kupu ,
lalat, nyamuk, lebah, dan kumbang.
Proses molting pada metamorphosis serangga
Molting atau sebut saja
“pergantian kulit” adalah suatu proses yang kompleks dan dikendalikan oleh
hormon-hormon tertentu dalam tubuh serangga. Molting meliputi lapisan
kutikula dinding tubuh, lapisan kutikula trakea, foregut, hindgut, dan struktur
endoskeleton (McGavin 2001; Triplehorn & Johnson, 2005). Molting dapat
terjadi sampai tiga atau empat kali, bahkan pada beberapa serangga tertentu,
molting dapat terjadi sampai lima puluh kali atau lebih selama hidupnya
(McGavin, 2001).
Serangga, termasuk arthropda lainnya (kalajengking, udang, lobster, dan
lain-lain), memiliki kerangka luar yang disebut dengan eksoskeleton. Dalam
pertumbuhannya, serangga akan tiba pada titik dimana otot-otot tubuhnya tidak
cukup kuat untuk mengangkat massa eksoskeletonnya. Exoskeleton ini menutupi
sekeliling tubuhnya, tetapi tidak dapat tumbuh. Jadi, tubuh serangga mengalami
pertumbuhan (penambahan volume dan massa) tetapi eksoskeletonnya tetap pada
konstruksinya atau tidak mengalami pertumbuhan. Akibatnya, serangga harus
melakukan molting beberapa kali selama hidupnya agar tetap eksis dan “survive”
atau bertahan hidup untuk meneruskan generasinya,
Proses molting pada serangga setidaknya melewati tiga tahap, yaitu apolysis,
ecdysis, dan sklerotinisasi. Ketiga tahap tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut
- Apolysis yaitu pelepasan kutikula lama. Pada tahap ini, hormon molting dilepaskan ke dalam haemolympha dan kutikula lama terpisah dari sel epidermis yang berada di bawahnya. Ukuran epidermis akan meningkat karena mitosis dan kemudian kutikula baru dihasilkan. Enzim yang disekresikan oleh sel epidermis mencerna endokutikula lama.
- Ecdysis yaitu pembentukan kutikula baru. Tahap ini dimulai dengan pemisahan kutikula lama, biasanya dimulai pada garis tengah sisi dorsal thoraks. Pemisahan terjadi,terutama, karena tekanan haemolympha yang dipaksa masuk menuju thoraks oleh kontraksi otot abdomen yang disebabkan karena serangga menerima udara atau air. Setelah ini, serangga akan keluar dari kutikula lama.
- Sclerotinisasi yaitu pengerasan kutikula baru. Kutikula baru yang baru terbentuk, sangat lembut dan pucat sehingga ini merupakan saat yang sangat rentan bagi serangga. Dengan demikian, serangga harus melakukan pengerasan (hardening) terhadap kutikula baru tersebut. Sklerotinisasi terjadi setelah satu atau dua jam, dimana eksokutikula akan mengeras dan menjadi gelap. Pada serangga dewasa, sayap akan berkembang karena kekuatan haemolymph yang masuk melalui vena sayap (McGavin, 2001; Triplehorn & Johnson,2005).
Pertumbuhan dan perkembangan serangga diselingi oleh periode molting yang
diatur oleh steroid 20-hydroxyecdysone (20HE,
hormon molting, ecdysterone) dan JH sesquiterpenoid (Klowden,
2007). Pada tahap dewasa, kedua hormon ini juga terlibat dalam pengaturan
pematangan reproduksi (Dhadialla et al., 1997).
Yang mempengaruhi proses molting serangga adalah “hormon”. Hormon adalah sinyal
kimia (chemical signals) atau pembawa pesan kimia (chemical messenger) yang dikirim dari sel dalam bagian
tubuh tertentu ke sel-sel dalam bagian tubuh lainnya pada individu organisme
yang sama.
Ketika serangga pada pertumbuhannya tiba waktunya untuk mendapatkan
eksoskeleton yang baru, input sensorik dari tubuh serangga mengaktifkan sel-sel
saraf (neurosecretory cells) tertentu dalam otak. Sel saraf ini
menanggapinya dengan mengeluarkan hormon otak yang memicu corpora cardiaca
untuk melepaskan prothoracicotropic hormone (PTTH) ke dalam sistem
peredaran darah. PTTH selanjutnya merangsang kelenjar prothoracic (prothoracic
glands) untuk mengeluarkan hormone molting, yaitu ecdysteroids atau
20-hydroxyecdysone steroids (Meyer, 2005). Dari sinilah proses molting mulai
berlangsung, diawali dengan peningkatan titer 20HE dan diakhiri dengan
penurunan titer 20HE dan pelepasan hormon eclosion (Klowden, 2007).
Hormone yang
berperan dalam proses metamorfosis
Pada Arthropoda dari kelompok insekta menghasilkan tiga macam hormon yaitu:
hormon otak, hormon ekdison, dan hormon juvenil. Ketiga hormon tersebut
berfungsi untuk mengatur proses metamorfosis.
- Hormon otak disekresikan oleh bagian otak, dan pelepasannya dipengaruhi oleh faktor makanan, cahaya, atau suhu. Selain itu hormon otak berfungsi memicu sekresi hormon ekdison dan hormon juvenil.
- Hormon ekdison perfungsi pada pengaturan proses pergantian kulit (ekdisis).
- Hormon juvenil berperan menghambat proses metamorfosis.
Salah satu hormone yang berperan pada proses metamorphosis serangga adalah
juvenile, beberapa fungsi juvenile dalam proses tersebut yaitu:
·
JH dihasilkan oleh Corpora allata, pasangan
organ neurohemal lainnya, terletak tepat di belakang corpora cardiac dalam
system endokrin serangga.
- JH menghambat perkembangan karakteristik dewasa selama fase pradewasa dan mendorong kematangan seksual selama fase dewasa (Meyer, 2005; Klowden, 2007).
- JH dihasilkan selama instar larva atau nimfa, dimana pada molting larva→larva (serangga holometabola) JH menghambat perkembangan larva menuju pupa, pada molting nimfa→nimfa (serangga hemimetabola) dihasilkan untuk menghambat gen-gen yang mempromosikan perkembangan karakteristik dewasa, misalnya, sayap, organ reproduksi, dan alat kelamin eksternal, sehingga menyebabkan serangga untuk tetap "immature" (dalam nimfa atau larva).
- Saat menjelang dewasa (nimfa) dan menjelang pupasi (larva) JH semakin menurun dan menjadi tidak ada atau tidak aktif saat nimfa menjadi dewasa dan larva menjadi pupa.
- JH akan diaktifkan atau dihasilkan kembali saat serangga memasuki kematangan seksual atau siap untuk reproduksi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam molting, JH berperan sebagai
pengontrol perkembangan serangga dari pradewasa (immature) menuju dewasa
(adult) melalui pengaturan konsentrasinya yang sesuai.
REFERENSI:
- Dhadiallla TS, Carlson GR, Le DP. 1997. New insecticides with Ecdysteroidal and Juvenile Hormone Actifity. Annu. Rev. Entomol. 1998. 43:545-69.
- Klowden MJ. 2007. Physiological Systems in Insects. Second Edition. Academic Press, Elsevier. Burlington, 01803, USA. 688p.
- Nijhout HF. 1994. Insect Hormones. Princeton, NJ: Princeton Univ. Press. 267 pp.
- Reynolds SE. 1987. The cuticle, growth and moulting in insects: the essential background to the action of acylurea in¬secticides. Pestic. Sci. 20:131–46.
- Riddiford LM. 1994. Cellular and molec¬ular actions of juvenile hormone I. Gen¬eral considerations and premetamorphic actions. Adv. Insect Physiol. 24:213–74.
- Riddiford LM. 1996. Molecular aspects ofjuvenile hormone action in insect meta¬morphosis. In Metamorphosis, ed. LI Gilbert, pp. 223–51. London: Academic
Tidak ada komentar:
Posting Komentar