Selasa, 25 Juni 2013

Embriologi hewan


 kelompok 5B
METAMORFOSIS PADA INSECTA
Metamorfosis pada hewan Insecta biasanya dialami oleh kelompok serangga bersayap (Pterygota). Dalam perkembangannya menuju dewasa, Pterygota mengalami metamorfosis. Metamorfosis pada Pterygota dapat dibedakan menjadi dua yaitu hemimetabola dan holometabola.
  1. Hemimetabola, yaitu serangga yang mengalami metamorfosis tidak sempurna. Tahapan metamorfosis ini adalah telur, nimfa, imago. Contohnya kecoa, belalang, belalang sangit.
  2. Holometabola, yaitu seangga yang mengalami metamorfosis sempurna. Tahapannya adalah telur, larva, pupa dan imago. Contohnya nyamuk, lalat dan kupu-kupu.
            Metamorfosis biasanya terjadi pada fase berbeda-beda. Dimulai dari larva atau nimfa, kadang-kadang melewati fase pupa, dan berakhir sebagai spesies dewasa/imago. Ada dua macam metamorfosis utama pada serangga, hemimetabola dan holometabola. Fase spesies yang belum dewasa pada metamorfosis biasanya disebut larva. Pada metamorfosis kompleks/ sempurna pada kebanyakan spesies serangga, setelah telur menetas fase pertamanya kita sebut larva dan jika tidak sempurna setelah telur disebut nympa (fase setelah menetas namun performa bentuknya seperti dewasa hanya berkuran kecil )
            Pada hemimetabola, perkembangan larva berlangsung pada fase pertumbuhan berulang dan ekdisis (pergantian kulit), fase ini disebut instar. Hemimetabola juga dikenal dengan metamorfosis tidak sempurna. Pada metamorfosis tidak sempurna, serangga mengalami perubahan bentuk dari telur hingga dewasa yang tidak mencolok dalam daur hidupnya. Bentuk larva atau bentuk pradewasanya disebut nimfa. Nimfa memiliki kemiripan dengan bentuk dewasa (imago), kecuali organ reproduksi dan sayap. Organ reproduksi dan sayap pada nimfa belum berkembang. Baru setelah berubah menjadi serangga dewasa. organ reproduksi berkembang dan serangga dapat bereproduksi. Pada metamorfosis tidak sempurna tidak terbentuk tahap pupa. Pada metamorfosis tidak sempurna. Perubahan bentuk yang terjadi adalah sebagai berikut :
Telur – nimfa – imago (dewasa)

 
 


Contoh serangga yang mengalami metamorfosis tidak sempurna antara lain belalang, lipas (kecoa), dan jangkrik.
            Pada holometabola, larva sangat berbeda dengan dewasanya. Serangga yang melakukan holometabola melalui fase larva, kemudian memasuki fase tidak aktif yang disebut pupa, atau chrysalis, dan akhirnya menjadi dewasa. Holometabola juga dikenal dengan metamorfosis sempurna. Sementara di dalam pupa, serangga akan mengeluarkan cairan pencernaan, untuk menghancurkan tubuh larva, menyisakan sebagian sel saja. Sebagian sel itu kemudian akan tumbuh menjadi dewasa menggunakan nutrisi dari hancuran tubuh larva. Larva umumnya mengalami molting empat kali sehingga terbentuk larva stadium satu hingga larva stadium empat Pada tahap larva, umumnya serangga sangat aktif makan. Hal ini terlihat pada tahap larva kupu-kupu yaitu ulat, yang sangat aktif memakan daun. Larva stadium empat berubah menjadi tahap pupa. Pada tahap pupa, serangga tidak aktif makan (periode puasa), tetapi proses metabolisme tetap terus berlangsung. Setelah mengalami pertumbuhan dan pembelahan sel, diferensiasi dan organogenesis, maka pupa akan berubah menjadi serangga dewasa (imago). Selama metamorfosis, terjadi pengulangan proses seperti halnya pada pertumbuhan dari perkembangan embrionik hingga akhirnya larva berubah menjadi bentuk dewasa. Contoh serangga yang mengalami metamodosis sempuma antara lain kupu-kupu , lalat, nyamuk, lebah, dan kumbang.
           
Proses molting pada metamorphosis serangga
Molting atau sebut saja “pergantian kulit” adalah suatu proses yang kompleks dan dikendalikan oleh hormon-hormon tertentu dalam tubuh serangga. Molting meliputi  lapisan kutikula dinding tubuh, lapisan kutikula trakea, foregut, hindgut, dan struktur endoskeleton (McGavin 2001; Triplehorn & Johnson, 2005). Molting dapat terjadi sampai tiga atau empat kali, bahkan pada beberapa serangga tertentu, molting dapat terjadi sampai lima puluh kali atau lebih selama hidupnya (McGavin, 2001).
            Serangga, termasuk arthropda lainnya (kalajengking, udang, lobster, dan lain-lain), memiliki kerangka luar yang disebut dengan eksoskeleton. Dalam pertumbuhannya, serangga akan tiba pada titik dimana otot-otot tubuhnya tidak cukup kuat untuk mengangkat massa eksoskeletonnya. Exoskeleton ini menutupi sekeliling tubuhnya, tetapi tidak dapat tumbuh. Jadi, tubuh serangga mengalami pertumbuhan (penambahan volume dan massa) tetapi eksoskeletonnya tetap pada konstruksinya atau tidak mengalami pertumbuhan. Akibatnya, serangga harus melakukan molting beberapa kali selama hidupnya agar tetap eksis dan “survive” atau bertahan hidup untuk meneruskan generasinya,
            Proses molting pada serangga setidaknya melewati tiga tahap, yaitu apolysis, ecdysis, dan sklerotinisasi. Ketiga tahap tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut
  1. Apolysis yaitu pelepasan kutikula lama. Pada tahap ini, hormon molting dilepaskan ke dalam haemolympha dan kutikula lama terpisah dari sel epidermis yang berada di bawahnya. Ukuran epidermis akan meningkat karena mitosis dan kemudian kutikula baru dihasilkan. Enzim yang disekresikan oleh sel epidermis mencerna endokutikula lama.
  2. Ecdysis yaitu pembentukan kutikula baru. Tahap ini dimulai dengan pemisahan kutikula lama, biasanya dimulai pada garis tengah sisi dorsal thoraks. Pemisahan terjadi,terutama, karena tekanan haemolympha yang dipaksa masuk menuju thoraks oleh kontraksi otot abdomen yang disebabkan karena serangga menerima udara atau air. Setelah ini, serangga akan  keluar dari kutikula lama.
  3. Sclerotinisasi yaitu pengerasan kutikula baru. Kutikula baru yang baru terbentuk, sangat lembut dan pucat sehingga ini merupakan saat yang sangat rentan bagi serangga. Dengan demikian, serangga harus melakukan pengerasan (hardening) terhadap kutikula baru tersebut. Sklerotinisasi terjadi setelah satu atau dua jam, dimana eksokutikula akan mengeras dan menjadi gelap. Pada serangga dewasa, sayap akan berkembang karena kekuatan haemolymph yang masuk melalui vena sayap (McGavin, 2001; Triplehorn & Johnson,2005).
            Pertumbuhan dan perkembangan serangga diselingi oleh periode molting yang diatur oleh steroid 20-hydroxyecdysone (20HE, hormon molting, ecdysterone) dan JH sesquiterpenoid (Klowden, 2007). Pada tahap dewasa, kedua hormon ini juga terlibat dalam pengaturan pematangan reproduksi (Dhadialla et al., 1997).
            Yang mempengaruhi proses molting serangga adalah “hormon”. Hormon adalah sinyal kimia (chemical signals) atau pembawa pesan kimia (chemical messenger) yang dikirim dari sel dalam bagian tubuh tertentu ke sel-sel dalam bagian tubuh lainnya pada individu organisme yang sama.
            Ketika serangga pada pertumbuhannya tiba waktunya untuk mendapatkan eksoskeleton yang baru, input sensorik dari tubuh serangga mengaktifkan sel-sel saraf (neurosecretory cells)  tertentu dalam otak. Sel saraf ini menanggapinya dengan mengeluarkan hormon otak yang memicu corpora cardiaca untuk melepaskan prothoracicotropic hormone (PTTH) ke dalam sistem peredaran darah. PTTH selanjutnya merangsang kelenjar prothoracic (prothoracic glands) untuk mengeluarkan hormone molting, yaitu ecdysteroids atau 20-hydroxyecdysone steroids (Meyer, 2005). Dari sinilah proses molting mulai berlangsung, diawali dengan peningkatan titer 20HE dan diakhiri dengan penurunan titer 20HE dan pelepasan hormon eclosion (Klowden, 2007).
                                            
Hormone yang berperan dalam proses metamorfosis
            Pada Arthropoda dari kelompok insekta menghasilkan tiga macam hormon yaitu: hormon otak, hormon ekdison, dan hormon juvenil. Ketiga hormon tersebut berfungsi untuk  mengatur proses metamorfosis.
  • Hormon otak disekresikan oleh bagian otak, dan pelepasannya dipengaruhi oleh faktor makanan, cahaya, atau suhu. Selain itu hormon otak berfungsi memicu sekresi hormon ekdison dan hormon juvenil.
  • Hormon ekdison perfungsi pada pengaturan proses pergantian kulit (ekdisis).
  • Hormon juvenil berperan menghambat proses metamorfosis.
            Salah satu hormone yang berperan pada proses metamorphosis serangga adalah juvenile, beberapa fungsi juvenile dalam proses tersebut yaitu:
·         JH dihasilkan oleh Corpora allata, pasangan organ neurohemal lainnya, terletak tepat di belakang corpora cardiac dalam system endokrin serangga. 
  • JH menghambat perkembangan karakteristik dewasa selama fase pradewasa dan mendorong kematangan seksual selama fase dewasa (Meyer, 2005; Klowden, 2007).
  • JH dihasilkan selama instar larva atau nimfa, dimana pada molting larva→larva (serangga holometabola) JH menghambat perkembangan larva menuju pupa, pada molting nimfa→nimfa (serangga hemimetabola) dihasilkan untuk menghambat gen-gen yang mempromosikan perkembangan karakteristik dewasa, misalnya, sayap, organ reproduksi, dan alat kelamin eksternal, sehingga  menyebabkan serangga untuk tetap "immature" (dalam nimfa atau larva). 
  • Saat menjelang dewasa (nimfa) dan menjelang pupasi (larva) JH semakin menurun dan menjadi tidak ada atau tidak aktif saat nimfa menjadi dewasa dan larva menjadi pupa. 
  • JH akan diaktifkan atau dihasilkan kembali saat serangga memasuki kematangan seksual atau siap untuk reproduksi.
            Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam molting, JH berperan sebagai pengontrol perkembangan serangga dari pradewasa (immature) menuju dewasa (adult) melalui pengaturan konsentrasinya yang sesuai.

           
REFERENSI:
  • Dhadiallla TS, Carlson GR, Le DP. 1997. New insecticides with Ecdysteroidal and Juvenile Hormone Actifity. Annu. Rev. Entomol. 1998. 43:545-69.
  • Klowden MJ. 2007. Physiological Systems in Insects. Second Edition. Academic Press, Elsevier. Burlington, 01803, USA. 688p.
  • Nijhout HF. 1994. Insect Hormones. Princeton, NJ: Princeton Univ. Press. 267 pp.
  • Reynolds SE. 1987. The cuticle, growth and moulting in insects: the essential background to the action of acylurea in¬secticides. Pestic. Sci. 20:131–46.
  • Riddiford LM. 1994. Cellular and molec¬ular actions of juvenile hormone I. Gen¬eral considerations and premetamorphic actions. Adv. Insect Physiol. 24:213–74.
  • Riddiford LM. 1996. Molecular aspects ofjuvenile hormone action in insect meta¬morphosis. In Metamorphosis, ed. LI Gilbert, pp. 223–51. London: Academic

Tidak ada komentar: