Kutur Jaringan Produksi Metabolit Sekunder
A. Pengantar
Metabolit Sekunder
Kultur
jaringan dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan metabolit sekunder dari suatu
tanaman. Kultur jaringan tanaman hanya mengambil jaringan yang cukup kecil dan
pengembangannya di atas media yang sesuai dalam waktu yang relatif singkat
(Suryowinoto, 1985). Metabolit sekunder merupakan hasil dari proses biokimia
yang terjadi dalam tubuh tanaman. Proses-proses tersebut juga terjadi pada
teknik kultur jaringan, oleh karena itu kultur jaringan dapat digunakan sebagai
sarana penghasil metabolit sekunder (Dalimoenthe, 1987).
Senyawa metabolit sekunder dari tumbuhan telah lama diketahui mempunyai
banyak manfaat bagi manusia (Fitriani, 2003). Menurut Wink (1990) dalam
Ngampanya, dan Phongtongpasuk (2006) produk metabolit sekunder juga banyak
digunakan sebagai sumber pharmaceuticals, fragrances, agrochemicals and food
additives. Kelly (1996) menyatakan bahwa produk metabolit sekunder yang
terdapat pada tanaman nanas adalah bromelin. Enzim bromelin merupakan suatu
enzim protease yang dapat menghidrolisa protein atau peptida menjadi molekul
yang lebih kecil yaitu asam amino (www.agribisnis.web.id, 2004).
Golongan
persenyawaan yang telah diteliti meliputi: alkaloid, flavonoid, phenol,
saponine, terpene, asam amino non protein dan quinon. Diperkirakan hanya
sekitar 15% dari spesies tanaman yang telah diidsolasi
persenyawan-persenyawaannya. Dari tiap spesies hanya 1-2 persenyawaan yang
diketahui dengan pasti (Balandren et al, 1985).
B. Tujuan
Metabolit Sekunder
Senyawa
metabolit sekunder biasa digunakan untuk pertahanan dan perkembangbiakan
tanaman. Kebanyakan senyawa metabolit sekunder ini beracun bagi hewan.
Penggolongan metabolit sekunder berdasarkan biosentesisnya meliputi senyawa
alkaloid, fenol, dan terpenoin (Anonim, 2010). Peranan metabolit sekunder
(wink, 1987) adalah :
a.
Sistem
pertahanan terhadap virus, bakteri dan fungi.
b.
Sistem
pertahanan terhadap herbivore : molusca, anthropoda dan vertebrata
c.
Sistem
pertahanan terhadap tanaman lain melalui allelopati
d.
Atractan
bagi binatang-binatang yang membantu polinasi dan penyerbukan biji
e.
Penyimpangan
nitrogen
f.
Sistem
transportasi nitrogen
g.
Proteksi
terhadap sinar U.V.
Selain
bernilai ekonomis karena dapat digunakan dalam industry, metabolit juga
memegang peranan penting dalam pertanian dan pemuliaan tanaman. Metabolit
sekunder yang penting bagi tanaman menurut Schlee, 1986; Levin, 1976; Savein,
1977; Wink, 1987, yang dihimpun oleh Wink (1988).
Hashimoto dan Yamada (1994) dalam Mukarlina (2006) menyatakan bahwa
kultur jaringan dapat digunakan sebagai metode alternatif untuk memperoleh
metabolit sekunder. Menurut Fowler (1983) dalam Fitriani (2003) keuntungan
penerapan kultur jaringan tumbuhan dibandingkan dengan penggunaan konvensional
diantaranya; pembentukan senyawa bioaktif dalam kondisi terkontrol dan waktu
yang relatif lebih singkat, bebas dari kontaminasi mikroba, setiap sel dapat
diperbanyak untuk menghasilkan senyawa metabolit sekunder tertentu, pertumbuhan
sel terawasi dan proses metabolismenya dapat diatur secara rasional dan kultur
jaringan tidak bergantung kepada kondisi lingkungan seperti keadaan geografi,
iklim dan musim.
C. Faktor yang
mempengaruhi produksi metabolit sekunder
Metabolit sekunder tanaman dihasilkan dari proses
metabolisme respirasi dan melalui kultur jaringan dapat ditingkatkan kandungan
metabolit sekunder bahkan dari yang tidak ada menjadi ada dengan penambahan
senyawa-senyawa yang merupakan prekursor. Dalam usaha menghasilkan metabolit
sekunder untuk skala besar, sangat diperlukan pemahaman yang besar tentang
tingkah laku sel, biosintesis metabolit sekunder didalam tubuh tanaman
tersebut. Oleh karena itu, biosintesis metabolit sekunder dengan menggunakan
kultur jaringan menjadi alternatif pilihan dan akhirnya menjadi tujuan yang
berharga. Namun dari banyak penelitian dan usaha komersial, masih banyak
menghadapi kendala.
Faktor yang
mempengaruhi produksi metabolit sekunder
1)
Formulasi
atau komposisi media kultur.
Konsentrasi sukrosa yang tinggi diserap sel kalus selain untuk
pertumbuhan juga digunakan untuk membentuk metabolit sekunder. Menurut Jang dan
Sheen (1997) dalam Merrilon dan Ramawat (1999) gula dalam pembentukkan
metabolit sekunder, gula digunakan sebagai sumber energi, sumber karbon, dan
untuk mengatur sinyal yang mempengaruhi ekspresi gen dalam proses pembentukkan
metabolit sekunder.
Menurut Jang dan Sheen (1997) dalam Merrilon dan Ramawat (1999) gula
dalam medium kultur untuk tujuan produksi metabolit sekunder memiliki 3 peran,
yaitu sebagai sumber energi, sumber karbon, dan untuk mengatur sinyal yang
mempengaruhi ekspresi gen dalam proses pembentukkan metabolit sekunder. Dicosmo
(1989) menyatakan bahwa sumber karbon dapat menginduksi pembentukkan metabolit
sekunder dan pada konsentrasi yang tinggi karbohidrat dapat mempertahankan
metabolisme sekunder. Dalam sel tumbuhan, karbohidrat dapat mempengaruhi
pembentukan metabolit sekunder melalui glikolisis dan daur Krebs. Kedua jalur
tersebut menjadi sumber energi dalam pembentukan metabolit sekunder (Ramawat,
1999). Sukrosa dalam medium kultur mengalami hidrolisis menjadi glukosa dan
fruktosa. Glukosa yang terbentuk selanjutnya akan masuk ke dalam jalur asam
D-glukoronat dan L-gulonat untuk membentuk asam askorbat (Manitto,1981).
Peningkatan konsentrasi sukrosa tampak mampu mempengaruhi kandungan asam
askorbat di dalam kalus Hibiscus sabdariffa L.
2)
Faktor
fisik (suhu, cahaya,kelembaban dll).
3)
Faktor
genetik (genotip sel).
Karakteristik
genetik dan fisiologis Asal Eksplan
Percobaan untuk menghasilkan
metabolit dalam kultur in vitro. Tahap pertama yaitu melakukan analisis
jaringan tanaman in vivo untuk mengetahui bagian tanaman yang mempunyai
kandungan tertinggi senyawa yang diinginkan.
Hal ini sesuai dengan teori
totipotensi biokimia sel, dimana sel tertentu dari tanaman mempunyai potensi
genetik yang diturunkan untuk menghasilkan senyawa dalam sistem in vitro
seperti halnya dengan in vito. Berdasarkan teori ini, tanaman mempunyai
kandungan senyawa tertentu dalam jumlah besar juga mampu menghasilkan senyawa
yang sama dalam jumlah besar apabila tanaman tersebut dikulturkan dalam kondisi
in vitro.
Deteksi terhadap senyawa yang
diinginkan ini dapat dilakukan secara kurang teliti dengan metode yang
sederhana, seperti dengan mempergunakan Thin layer Chromotography.
Senyawa-senyawa tertentu dapat diketahui keberadaannya hanya dengan cara
visual, misalnya senyawa antosianin atau senyawa-senyawa lain yang termasuk
golongan pigmen. Seringkali deteksi ini dilakukan diantara kultivar dalam satu
spesies tanaman tertentu karena kultivar yang berada memiliki potensi biokimia
yang berbeda pula, yang diturunkan secara genetik.
Selain pertimbangan potensi genetik
yang ada pada tanaman, faktor lain yang harus diperhatikan adalah umur
fisiologi eksplan dan bagian tanaman yang dipilih. Umur fisiologi eksplan
sangat penting karena semakin muda umur fisiologinya, keberhasilan kultur
semakin besar untuk mendapatlan umur fisiologi yang muda dapat dilakukan
grafting dari tanaman yang tua dan dari tanaman hasil grafting tersebut dapat
diisolasi eksplan yang mempunyai umur fisiologi yang jauh lebih muda.
Umur fisiologi yang paling muda
mempunyai keberhasilan yang lebih tinggi dalam menginduksi kalus atau organ
lain. Hal ini berhubungan dengan juvenilitas eksplan. Bagian tanaman yang
dipergunakan sebagai sumber eksplan juga mempengaruhi senyawa yang dihasilkan.
Selanjutnya, sumber eksplan yang dipilih kadang-kadang perlu diberikan “pre
treatment” sebelum digunakan dalam kultur in vitro. Pre treatment ini mencakup
antara lain musim dimana sebaiknya bahan tanaman diambil, pemberian hara tanaman
tertentu untuk merangsang juvenilitas pada tanaman misalnya dengan pemberian
nitrogen, menanam pada kondisi gelap untuk mendapatkan tanaman yang terisolasi,
dan pemberian zat pengatur tumbuh tertentu pada eksplan sesudah diisolasi tapi
belum ditanam pada media perlakuan untuk meningkatkan respon tanaman terhadap
perlakuan yang diberikan.
4.
Faktor
Stress lingkungan (logam berat, elicitor, sinar UV).
Menurut Santoso dan
Nursandi (2001) sebagian besar senyawa metabolit sekunder diekstrak dari
spesies-spesies tumbuhan yang dibudidayakan secara in vivo, namun cara
tersebut mempunyai kelemahan, diantaranya pengaruh musim, senyawa kimia
tertentu hanya dihasilkan pada umur tertentu pada tanaman tertentu, dan lahan
pertanian yang semakin terbatas. Oleh karena itu, diperlukan budidaya
alternatif untuk produksi senyawa-senyawa sekunder.
Menurut
Mattel dan Smith (1993), agar produksi metabolit sekunder tinggi maka perlu
optimasi faktor-faktor internal dan eksternal. Optimasi faktor tersebut dapat
dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pertumbuhan dan tahap produksi. Pada
tahap pertumbuhan, kondisi kultur diarahkan untuk memproduksi biomassa sel
dalam waktu dekat, sedangkan tahap produksi dilakukan pemindahan biomassa sel
ke dalam medium produksi dengan tujuan pengkondisian kultur untuk produksi
metabolit sekunder. Selain optimasi pada kedua tahap di atas, pendekatan lain
yang dapat dilakukan secara efektif untuk meningkatkan produksi biomassa sel
dan metabolit sekunder adalah penambahan prekursor (prazat), elisitasi dan
amobilisasi.
D. Usaha-Usaha
Memperbaiki Produksi Metabolit Sekunder
Usaha-Usaha Memperbaiki Produksi Metabolit Sekunder
1.
Penggunaan
Fusi Sel Untuk Produksi Senyawa Metabolit Sekunder
Minat
yang besar dalam memproduksi senyawa-senyawa yang berguna seperti alkaloid,
steroid, vitamin dan pigmen sangat meningkat dengan perkembangan teknologi sel
tanaman. Beberapa usaha untuk menghasilkan senyawa-senyawa metabolit pada skala
industri sudah dilaporkan (Curtin, 1983).
Metabolit
sekunder dihasilkan oleh kultur sel tanaman. Kultur protoplast juga sudah
digunakan untuk pemuliaan tanaman, untuk mendapatkan muatan yang resisten
terhadap obat-obatan, dan auxotrof serta untuk hibridisasi somatik. Sebagian
besar tanaman yang dipelajari berasal dari genus solanaceae. Kultur protoplast
penting untuk menyeleksi sel tunggal yang mengandung metabolit sekunder dalam
jumlah tinggi.
Yamada
(1985) sudah mengkulturkan protoplast (klon sel tunggal) dari sel Coptis yang
memproduksi sejumlah besar berberine. Dari protoplast tersebut kemudian
berhasil diinisiasi koloni kalus dan kandungan berberinnya dianalisis. Kemudian
didapatkan bahwa sel yang berasal dari protoplast mempunyai kandungan berberin
yang serupa dengan sel induknya. Pertumbuhan lini sel dari protoplast lebih
besar dari pada lini sel induknya. Hal yang menarik adalah lini-lini sel yang
berasal dari protoplast menunjukkan variasi kromosom meskipun setiap klon
diturunkan dari protoplast tunggal.
Tanaman
tingkat tinggi adalah organisme multiseluler yang terdiri dari sel-sel, jaringan
yang berdiferensiasi. Sel-sel yang berdiferensiasi mempunyai potensi untuk
memproduksi senyawa spesifik dalam jumlah dan kelakuan yang stabil. Dalam hal
ini, sel tumbuhan berbeda dari sel mikroorganisme, seperti bakteri yaitu cloning
sel tunggal dapat dilakukan dengan sangat efektif untuk mendapatkan sel yang
mempunyai karakter yang spesifik. Diferensiasi metabolit sekunder menggunakan
metoda seleksi yang dipilih harus berbeda dari metoda seleksi yang digunakan
untuk mengisolasi sel tunggal yang mampu menghasilkan metabolit sekunder dalam
jumlah besar. Produktivitas metabolit sekunder yang dihasilkan dengan kultur
sel adalah fungsi dari jumlah metabolit pada sel dan kecepatan pertumbuhan sel.
Dengan mempergunakan kultur protoplast, hal ini penting untuk mendapatkan sel
yang tumbuh sangat cepat akan menghasilkan hibridoma tanaman.
2.
Seleksi
sel
Seleksi
Klon pada kultur jaringan tanaman telah digunakan untuk mendapatkan lini sel
yang menghasilkan produk metabolit sekunder dalam jumlah besar. Seleksi ini telah
berhasil meningkatkan metabolit sekunder pada beberapa sel tanaman. Pada
tanaman Morinda citrifolia seleksi
telah meningkatkan produksi anthraquinone 10 kali lebih tinggi dari pada
tanaman dilapang (Zenk et al., 1975). Pada tanaman ubi jalar, sel yang
menghasilkan antosianin tinggi juga dihasilkan dengan cara seleksi kultur kalus
(Nozue et al., 1986). Sedang pada tanaman Polygonum
tinchtorium Ait, seleksi agregat telah meningkatkan kandungan antosianin 4
kali kultur tanpa seleksi pada kultur suspensi sel telah menghasilkan 10 kali
lebih tinggi (Ernawati et al., 1991 a, b). Yamamoto et al.,(1982) melaporkan
bahwa seleksi lini sel pada Euphorbia millii meningkatkan kandungan antosianin
tujuh kali lebih tinggi dari kandungan awalnya. Demikian juga Yamada dan Sato
(1981) mendapatkan lini sel Coptis japonica yang menghasilkan berberine yang
lebih tinggi dari pada tanaman aslinya.
Dasar
dari seleksi pada kultur jaringan untuk menghasilkan senyawa metabolit sekunder
adalah adanya variasi pada sel-sel dalam kemampuannya untuk menghasilkan
senyawa tertentu. Variasi ini dikenal sebagai variasa somaklonal dan secara
genetik variasi ini cukup besar sehingga telah terbukti dapat dimanfaatkan
sebagai sumber keragaman untuk menghasilkan senyawa tertentu. Variasi somaklonal
ini dapat diperoleh dari kultur sel yang berasal dari protoplast atau cara-cara
lain.
Jenis
seleksi yang digunakan relatif spesifik tergantung jenis senyawa yang
dihasilkan. Jenis senyawa yang dihasilkan ini menentukan desain metode seleksi
dan memilih lini sel untuk digunakan. Hal mendasar yang harus diketahui adalah
inisiasi kultur awal harus mempertimbangkan spesies dan kultivar yang
menghasilkan senyawa bersangkutan.
Cara
mendesain seleksi yang harus dipertimbangkan tidak hanya aspek biokimia dari senyawa
yang diinginkan dan spesies tanaman yang dikulturkan, tapi jenis kultur yang
dipakai.
Penggunaan
kultur kalus pada banyak study dibatasi oleh kontak langsung sel dengan medium,
karena sel-selnya berikatan sate sama lain. Dalam hal ini juga sulit untuk
melakukan pemindahan atau sub kultur yang seragam baik jumlah atau massa sel
maupun keseragaman tipe sel jika memindahkan sekelompok kecil dengan spatula.
Selain
kultur kalus, sistem yang telah digunakan adalah sistem kultur suspensi sel.
Sistem kultur suspensi mempunyai keuntungan-keuntungan tertentu mencakup:
1)
Kecepatan
pertumbuhan yang lebih cepat
2)
Transfer
atau sub kultur sel relative homogeny
3)
Sel-sel
yang ada dapat diamati dengan mikroskop karena merupakan sel-sel bebas
4)
Medium
cair berada dalam kontak langsung dengan setiap sel
5)
Medium
dapat diperbaharui dengan mudah dengan penambahan medium baru
6)
Sel-sel
dapat diplating secara langsung
Sistem kultur suspensi sudah
digunakan untuk menyeleksi lini-lini sel yang resisten terhadap asam amino
(Gathercole dan Street, 1976; Palmer dan Widholm, 1975; Widholm, 1972; Widholm
1974) dan NaCl (Nabors et al, 1975). Emawati et al. (1991 b) jugs mempergunakan
sistem ini untuk mendapatkan lini yang menghasilkan antosianin.
Seleksi Klon adalah teknik yang
sangat berguna, sebuah sel berasal dari sebuah sel tunggal sehingga sel-sel
dalam satu mempunyai informasi genetik yang sama. Hal ini sangat penting untuk
memastikan kemurnian dan stabilitas lini¬lini yang diinginkan. Tetapi pada
umumnya teknik pengklonan ini sangat tidak efisen untuk dikerjakan secara
rutin. Salah satu sistem yang mungkin digunakan adalah mikrospora yang diisolasi
dari Nicotiana tabacum, Nicotiana sylvestris dan Datura innoxia sudah diinduksi untuk
membentuk embrio dan kemudian menjadi tanaman. Sistem ini memungkinkan isolasi
sel tunggal, yaitu sel-sel haploid yang mungkin sangat berguna untuk seleksi.
Kesesuaian teknik ini tergantung pada jumlah embrio yang dapat diperoleh.
Nitsch (1977) mendapatkan bahwa rata-rata 5% dari mikrospora Nicotiana tabacum berkembang menjadi
platlets. Karena terdapat 5 anther pads setiap bunga, dan setiap anther
mengandung 30.000 mikrospora, maka rata-rata 7000 plantlet dapat diproduksi
dari setiap, bunga. Karena itu terdapat sejumlah besar dari embrio yang sedang
berkembang dapat diperoleh dengan sistem ini. Kenyataan sampai saat ini adalah
bahwa tidak mudah bekerja dengan set tumbuhan bila dibandingkan dengan mikroba.
Sel-sel tumbuhan umumnya tumbuh dengan sangat lambat, untuk agregat sel, jika
diplating tidak akan tumbuh bila kerapatannya rendah dan menunjukkan
ketidakstabilan kromosom dan ploidy. Kesulitan-kesulitan ini tidak mengecualikan
manipulasi sel-sel tanaman yang sukses, tetapi menyebabkan lambatnya kemajuan.
3.
Penggunaan
Elicitor untuk Produksi Metabolit sekunder
Elisitasi
adalah suatu metode untuk meningkatkan fitoaleksin dan metabolit sekunder
lainnya dengan menambahkan berbagai elisitor biotik maupun abiotik. Elisitasi
merupakan proses penambahan elisitor pada sel tumbuhan dengan tujuan untuk
menginduksi dan meningkatkan pembentukan metabolit sekunder. Selain itu,
elisitasi merupakan suatu respon dari suatu sel untuk menghasilkan metabolit
sekunder. Dalam hal ini adanya interaksi patogen dengan inang akan menginduksi
pembentukan fitoaleksin pada tumbuhan. Fitoaleksin itu sendiri merupakan
senyawa antibiotik yang mempunyai berat molekul rendah, dan dibentuk pada
tumbuhan tinggi sebagai respons terhadap infeksi mikroba patogen. Senyawa yang
merupakan bagian dari mekanisme tersebut dapat dianalogikan dengan antibody
yang terbentuk sebagai respons imun pada hewan (Yoshikawa&Sugimito, 1993).
Elisitor selain dapat menginduksi sintesis fitoaleksin, ternyata dapat juga
menginduksi sintesis metabolit sekunder yang bukan fitoaleksin pada kultur
kalus dan sel (Eilert et al 1986). Contoh elisitor yang berasal dari miselium Fusarium
yang meningkatkan kadar
tiopen hingga 300 % pada kultur akar rambut Tagetas putula.
Beberapa
faktor yang mempengaruhi kandungan metabolit sekunder dalam kultur yang
dielisitasi antara lain macam elisitor, konsentrasi elisitor, waktu kontak
elisitor dengan sel tumbuhan, galur sel yang digunakan, waktu penambahan
elisitor dan fase pertumbuhan sel dalam kultur, serta nutrien yang digunakan
dalam medium.
Konsentrasi
elisitor merupakan salah satu faktor pembatas yang menentukan kandungan
metabolit sekunder pada kultur jaringan yang dielisitasi. Hal ini menunjukkan
bahwa pada membran plasma terdapat reseptor untuk elisitor dengan jumlah
tertentu, sehingga untuk meningkatkan kandungan katarantin diperlukan
konsentrasi elisitor yang optimum (Buitelaar et al., 1991).
Sebuah
pendekatan lain untuk memperbaiki produk yang dihasilkan pada kultur sel
tanaman adalah alterasi metabolisme sel melalui faktor eksternal, misalnya
stress. Kultur sel tanaman pada dasarnya bersifat totipotensi karena itu semua
produk yang ada pada tanaman induk seharusnya juga disinetsi pada kultur dalam
kondisi yang tepat. Pada interaksi antara tanaman inang dengan pathogen yang
biasanya bersifat spesifik species, infeksi pathogen menginduksi pembentukan
produk (fitoaleksi) yang toksik terhadap organism yang menginvasi. Enzim dari
metabolisme sekunder juga diinduksi oleh pathogen yang menginvasi yang
menghasilkan fitoaleksin. Dalam hal ini elicitor berperan penting dalam
menginduksi enzim yang terlibat dalam siklus metabolisme.
Elicitor
yang dipakai dapat berupa fraksi karbohidrat yang diambil dari kultur suspense
cendawa atau ekstrak yeast, atau lebih dikenal sebagai glucas. Struktur glucan
yang diperlukan untuk aktivitas elicitor adalah (1,6)-B-B-glucopyranosyl.
Sedang molekul aktif terkecilnya adalah glukoheptose.
Dosis
elicitor yang dipakai juga menentukan efektivitasnya dalam menginduksi senyawa
yang diinginkan. Dosis yang terlalu tinggi menyebabkna timbulnya gejala nekrosa
yaitu terjadinya pencoklatan sel. Dosis yang tepat dapat ditentukan dengan
percobaan, dan tergantung pada jenis elicitor yang dipakai serta sel tanaman
yang diberi perlakuan. Pada kultur suspense sel kedelai, elicitor yang
diberikan berasal dari cendawan Phytopthora mega sperma, dan dosis yang
diberikan adalah untuk 20 μg elicitor per mg berat kering sel untuk menginduksi
sintesis senyawa-senyawa yang merupakan isomer glyceollin. Apabila elicitor
yang dipakai berasal dari ekstrak yeast, konsentrasi yang dipakai adalah 5,2
mg/ml dari ekstrak yang sudah dianalisis. Pada kultur Tabernaemonta sp, dosis yang dipakai adalah 100mg cellulase, atau
100gr pectinase atau 100 mg suspense Mycellium
aspergillus niger untuk menghasilkan indole alkolodi apparicine sebagai
salah satuu produk utama. Pada kultur suspense thalictrum rugosum dosis
elicitor 200 μg/g berat basah sel menghasilkan berberin maksimum.
Pemberian
elicitor dapat dilakukan pada berbagai fase pertumbuhan sel, tetapi nampaknya
tidak terdapat keserupaan antara sel yang diberi perlakuan elicitor dengan sel
tanpa perlakuan elicitor. Pada kultur thalictrum
rugosum, berberine dihasilkan berasosiasi dengan pertumbuhan sel. Tetapi
pada kultur sel yang diberi elicitor produk berberin tertinggi dipakai apabila
elicitor pada fase lag tidak mengakibatkan terjadinya peningkatan produksi
berberin. Pemberian pada fase stasioner mengaskibatkan terjadinya penurunan berat
kering total yang lebih besar daripada pemberian pada fase pertumbuhan
eksponensial, tetapi pemberian pada kedua fase ini meningkatkan hasil berberin.
Perbedaan ini mungkin terjadi pada sel-sel yang berada pada fase awal
pertumbuhan, sel tidak memproduksi tyrosine atau prekutsor-prekursor lain yang
terlibat pada sintesa berberin. Sebab lain mungkin enzim-enzim yang bertanggug
jawab pada sintesa berberin tidak diinduksi pada sel-sel muda tersebut. Pada
kultur sel Tabernae Montana elicitor
diberikan pada saat kultur berumur 10 hari yang merupakan fase akhir
pertumbuhan ekponensial. Pada kultur suspense sel tembakau pemberian elicitor
dilakukan pada fase pertumbuhan eksponensial.
Frekuensi
pemberian elicitor juga dapat dilakukan lebih dari satu kali, teragantung pada
jenis sistem yang digunakan dan juga jenis tanaman yang dikulturkan. Pada
kultur Papaver somniverum L. yang
dikulturkan dengan proses semi continous, elicitasi dengan sanguinarine (SGE) dan
dihydrosanguinarine (DSGE). Elisitas yang sama, hanya mediumnya yang diganti.
Elicitasi kembali ini menunjukkan peningkatan sensivitas kultur terhadap
elicotir yang diberikan (pertumbuhan menurun, produknya meningkat). Hal ini
membawa harapan untuk memudahkan dalam penyusunan sistem produksi secara
besar-besaran. Pada kultur suspense tanaman lainnya elicitor diberikan hanya
sekali pada sel yang sama.
Waktu
yang diperlukan oleh sel untuk menghasilkan produk dalam jumlah maksimum
setelah pemberian elicitor berbeda-beda tergantung jenis kulturnya. Pada kultur
suspense sel tembakau, capsidiol mencapau jumlah maksimum antara 15 samapai 20
jam sesudah sel diberi perlakuan elicitor. Pada kultur T. rugosum, berbeda mencapai jumlah maksimal 120 jam sesudah kultur
diberi perlakuan elicitor. Sedang pada kultur Papever somniforum L. SGE dan SDGE dipanen dari sel sesudah sel
berumur 14 hari setelah diberi perlakuan. Pada kultur Tabernaemontana spp.
pemanenan dilakukan pada saat kultur berumur 4 hari setelah kultur diberi
perlakuan elicitor. Hal ini menunjukkan bahwa waktu yang diperlukan untuk
menghasilkan senyawa metabolit sekunder tidak tergantung pada konsentrasi
elicitor.
Suatu
hal yang menarik, pemberian elicitor mampu menaikkan hasil pada produksi
senyawa yang diinginkan dan juga menghasilkan senyawa yang tidak dihasilkan
oleh kultur tanpa elicitor. Pada kultur suspense sel tembakau, sel yang diberi
perlakuan elicitor menghasilkan capsidiol lebih dari 10 μg/g berat basah
pemberian elicitor pada kultur Thalictrum
rugosum menghasilkan berberin 4- 4,5% berat kering, sedang kultur yang sama
tanpa elicitor hanya menghasilkan berberin 0,5% berat kering kultur. Pada
kultur Tabernaemontana sp, pemberian
elicitor selain meningkatkan produksi de novo zat bioaktif antimikroba yang
tergolong triterpene, juga meningkatkan berat basah total. Sedang pada kultur Papever somniforum L.
Elisitor
terdiri atas dua kelompok, yaitu elisitor abiotik dan elisitor biotik
a.
Elisator
abiotik, bisa berasal dari senyawa anorganik , radiasi secara fisik, seperti
ultraviolet, logam berat, dan detergen
b.
Elisator
biotic dapat dikelompokkan dalam elisator endogen, dan elisator eksogen, yaitu
:
1)
Elisator
endogen, umumnya berasal dari bagian tumbuhan itu sendiri, seperti bagian dari
dinding sel (poligogalakturonat) yang rusak. Rusaknya dinding sel ini,
disebabkan oleh suatu serangan pathogen. Dinding sel yang rusak dan terluka
oleh karena aktivitas enzim hidrolisis dari serangan pathogen.
2)
Elisator
eksogen, bisa berasal dari dinding jamur misalnya kitin, atau glukan. Selain
itu dapat berupa senyawa yang disintesis, misalnya protein ( enzim ) (
Salisburry & Ross, 1995 ).
Beberapa penelitian telah membuktikan
bahwa metode elisitasi dapat meningkatkan kandungan fitoaleksin dan metabolit
sekunder lain pada tumbuhan tertentu. Kandungan fitoaleksin kapsidiol pada
kultur sel Capsicum annuum dapat
ditingkatkan setelah diberi penambahan ekstrak dari spora dan miselium Gliocladium deliquescens
2 Antosianin pada kultur sel Daucus carota dapat ditingkatkan setelah diberi penambahan filtrat sel dan homogenat dari Escherichia coli, Staphyllococcus aureus, Saccharomyces cereviseae, dan Candida albicans.
2 Antosianin pada kultur sel Daucus carota dapat ditingkatkan setelah diberi penambahan filtrat sel dan homogenat dari Escherichia coli, Staphyllococcus aureus, Saccharomyces cereviseae, dan Candida albicans.
Kegunaan elisitasi adalah
a. untuk menginduksi dan meningkatkan pembentukan metabolit
sekunder.
b. Meningkatkan aktivitas atau kelompok enzim spesifik yang
mengkatalis reaksi biokimia yang diinginkan ( Roberts, 2005).
c. Sebagai strategi dalam menginduksi dan meningkatkan pementukan
metabolit sekunder.
d. Dapat meningkatkan aktivitas enzim- enzim yang berkaitan dengan
pembentukan metabolit sekunder.
Kerugian adalah
a. Prosedur kompleks, misal untuk mendapatkan hasil maksimum
diperlukan kultur dengan dua tahap.
b. Kadar konsentrasi elisitor harus optimum, konsentrasi elisitor
adalah titik kritis dalam keberhasilan elisitasi. Jika penambahan kurang tepat
malah akan mengurangi produksi metabolit sekundernya.
c. Sulit untuk meningkatkan produksi dua atau lebih metabolit sekunder
yang kita inginkan dalam sati sistem elisitasi.
d. tidak semua metabolit sekunder yang dihasilkan berupa
fitoaleksin sehingga dapat mengganggu peningkatan produksi metabolit sekunder.
e. Karena pemberian elisitor yang menyebabkan luka sehingga nutrisi
yang terdapat dalam tanaman digunakan untuk menutupi luka, akibatnya tidak ada
nutrisi yang digunakan untuk pertumbuhan sel serta jika penambahan elisitor
terlalu banyak, justru akan mengurangi pertumbuhan sel, hal itu disebabkan
adanya pengaruh feedback inhibition
f. Membutuhkan senyawa spesifik untuk setiap metabolit sekunder
(Verpoorte et al,1994).
E.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Obat dan Obat Tradisional dan Badan Penelitian dan Pengembang Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI yang berjudul Pengaruh
Penambahan Sitokinin Pada Senyawa Flavonoid Kalus (Echinacea Purpurea L)
mendapatkan hasil penetapan kadar flavonoid total dari kalus dan tanaman
Echinacea purpurea L hasil perlakuan dengan BAP 3 mg/l diperoleh 0,29%,
pada BAP 4 mg/l diperoleh 0,28% dan pada tanaman asal juga 0,28%. Kadar
flavonoid tersebut menunjukkan hasil yang hampir sama antara hasil induksi
kalus dengan tanaman asal, bahkan pada BAP 3 mg/l terjadi peningkatan. Hal ini
menunjukkan bahwa kalus daun yang diperoleh secara kultur jaringan dapat
digunakan sebagai alternatif untuk menghasilkan metabolit sekunder.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar