Jumat, 06 November 2015

Kultur Jaringan

Kutur Jaringan Produksi Metabolit Sekunder
  
A.    Pengantar Metabolit Sekunder
Kultur jaringan dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan metabolit sekunder dari suatu tanaman. Kultur jaringan tanaman hanya mengambil jaringan yang cukup kecil dan pengembangannya di atas media yang sesuai dalam waktu yang relatif singkat (Suryowinoto, 1985). Metabolit sekunder merupakan hasil dari proses biokimia yang terjadi dalam tubuh tanaman. Proses-proses tersebut juga terjadi pada teknik kultur jaringan, oleh karena itu kultur jaringan dapat digunakan sebagai sarana penghasil metabolit sekunder (Dalimoenthe, 1987).
Senyawa metabolit sekunder dari tumbuhan telah lama diketahui mempunyai banyak manfaat bagi manusia (Fitriani, 2003). Menurut Wink (1990) dalam Ngampanya, dan Phongtongpasuk (2006) produk metabolit sekunder juga banyak digunakan sebagai sumber pharmaceuticals, fragrances, agrochemicals and food additives. Kelly (1996) menyatakan bahwa produk metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman nanas adalah bromelin. Enzim bromelin merupakan suatu enzim protease yang dapat menghidrolisa protein atau peptida menjadi molekul yang lebih kecil yaitu asam amino (www.agribisnis.web.id, 2004).
Golongan persenyawaan yang telah diteliti meliputi: alkaloid, flavonoid, phenol, saponine, terpene, asam amino non protein dan quinon. Diperkirakan hanya sekitar 15% dari spesies tanaman yang telah diidsolasi persenyawan-persenyawaannya. Dari tiap spesies hanya 1-2 persenyawaan yang diketahui dengan pasti (Balandren et al, 1985).

B.     Tujuan Metabolit Sekunder
Senyawa metabolit sekunder biasa digunakan untuk pertahanan dan perkembangbiakan tanaman. Kebanyakan senyawa metabolit sekunder ini beracun bagi hewan. Penggolongan metabolit sekunder berdasarkan biosentesisnya meliputi senyawa alkaloid, fenol, dan terpenoin (Anonim, 2010). Peranan metabolit sekunder (wink, 1987) adalah :
a.       Sistem pertahanan terhadap virus, bakteri dan fungi.
b.      Sistem pertahanan terhadap herbivore : molusca, anthropoda dan vertebrata
c.       Sistem pertahanan terhadap tanaman lain melalui allelopati
d.      Atractan bagi binatang-binatang yang membantu polinasi dan penyerbukan biji
e.       Penyimpangan nitrogen
f.       Sistem transportasi nitrogen
g.      Proteksi terhadap sinar U.V.
Selain bernilai ekonomis karena dapat digunakan dalam industry, metabolit juga memegang peranan penting dalam pertanian dan pemuliaan tanaman. Metabolit sekunder yang penting bagi tanaman menurut Schlee, 1986; Levin, 1976; Savein, 1977; Wink, 1987, yang dihimpun oleh Wink (1988).
Hashimoto dan Yamada (1994) dalam Mukarlina (2006) menyatakan bahwa kultur jaringan dapat digunakan sebagai metode alternatif untuk memperoleh metabolit sekunder. Menurut Fowler (1983) dalam Fitriani (2003) keuntungan penerapan kultur jaringan tumbuhan dibandingkan dengan penggunaan konvensional diantaranya; pembentukan senyawa bioaktif dalam kondisi terkontrol dan waktu yang relatif lebih singkat, bebas dari kontaminasi mikroba, setiap sel dapat diperbanyak untuk menghasilkan senyawa metabolit sekunder tertentu, pertumbuhan sel terawasi dan proses metabolismenya dapat diatur secara rasional dan kultur jaringan tidak bergantung kepada kondisi lingkungan seperti keadaan geografi, iklim dan musim.

C.    Faktor yang mempengaruhi produksi metabolit sekunder
Metabolit sekunder tanaman dihasilkan dari proses metabolisme respirasi dan melalui kultur jaringan dapat ditingkatkan kandungan metabolit sekunder bahkan dari yang tidak ada menjadi ada dengan penambahan senyawa-senyawa yang merupakan prekursor. Dalam usaha menghasilkan metabolit sekunder untuk skala besar, sangat diperlukan pemahaman yang besar tentang tingkah laku sel, biosintesis metabolit sekunder didalam tubuh tanaman tersebut. Oleh karena itu, biosintesis metabolit sekunder dengan menggunakan kultur jaringan menjadi alternatif pilihan dan akhirnya menjadi tujuan yang berharga. Namun dari banyak penelitian dan usaha komersial, masih banyak menghadapi kendala.
Faktor yang mempengaruhi produksi metabolit sekunder
1)      Formulasi atau komposisi media kultur.
Konsentrasi sukrosa yang tinggi diserap sel kalus selain untuk pertumbuhan juga digunakan untuk membentuk metabolit sekunder. Menurut Jang dan Sheen (1997) dalam Merrilon dan Ramawat (1999) gula dalam pembentukkan metabolit sekunder, gula digunakan sebagai sumber energi, sumber karbon, dan untuk mengatur sinyal yang mempengaruhi ekspresi gen dalam proses pembentukkan metabolit sekunder.
Menurut Jang dan Sheen (1997) dalam Merrilon dan Ramawat (1999) gula dalam medium kultur untuk tujuan produksi metabolit sekunder memiliki 3 peran, yaitu sebagai sumber energi, sumber karbon, dan untuk mengatur sinyal yang mempengaruhi ekspresi gen dalam proses pembentukkan metabolit sekunder. Dicosmo (1989) menyatakan bahwa sumber karbon dapat menginduksi pembentukkan metabolit sekunder dan pada konsentrasi yang tinggi karbohidrat dapat mempertahankan metabolisme sekunder. Dalam sel tumbuhan, karbohidrat dapat mempengaruhi pembentukan metabolit sekunder melalui glikolisis dan daur Krebs. Kedua jalur tersebut menjadi sumber energi dalam pembentukan metabolit sekunder (Ramawat, 1999). Sukrosa dalam medium kultur mengalami hidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa. Glukosa yang terbentuk selanjutnya akan masuk ke dalam jalur asam D-glukoronat dan L-gulonat untuk membentuk asam askorbat (Manitto,1981). Peningkatan konsentrasi sukrosa tampak mampu mempengaruhi kandungan asam askorbat di dalam kalus Hibiscus sabdariffa L.
2)      Faktor fisik (suhu, cahaya,kelembaban dll).
3)      Faktor genetik (genotip sel).
Karakteristik genetik dan fisiologis Asal Eksplan
Percobaan untuk menghasilkan metabolit dalam kultur in vitro. Tahap pertama yaitu melakukan analisis jaringan tanaman in vivo untuk mengetahui bagian tanaman yang mempunyai kandungan tertinggi senyawa yang diinginkan.
Hal ini sesuai dengan teori totipotensi biokimia sel, dimana sel tertentu dari tanaman mempunyai potensi genetik yang diturunkan untuk menghasilkan senyawa dalam sistem in vitro seperti halnya dengan in vito. Berdasarkan teori ini, tanaman mempunyai kandungan senyawa tertentu dalam jumlah besar juga mampu menghasilkan senyawa yang sama dalam jumlah besar apabila tanaman tersebut dikulturkan dalam kondisi in vitro.
Deteksi terhadap senyawa yang diinginkan ini dapat dilakukan secara kurang teliti dengan metode yang sederhana, seperti dengan mempergunakan Thin layer Chromotography. Senyawa-senyawa tertentu dapat diketahui keberadaannya hanya dengan cara visual, misalnya senyawa antosianin atau senyawa-senyawa lain yang termasuk golongan pigmen. Seringkali deteksi ini dilakukan diantara kultivar dalam satu spesies tanaman tertentu karena kultivar yang berada memiliki potensi biokimia yang berbeda pula, yang diturunkan secara genetik.
Selain pertimbangan potensi genetik yang ada pada tanaman, faktor lain yang harus diperhatikan adalah umur fisiologi eksplan dan bagian tanaman yang dipilih. Umur fisiologi eksplan sangat penting karena semakin muda umur fisiologinya, keberhasilan kultur semakin besar untuk mendapatlan umur fisiologi yang muda dapat dilakukan grafting dari tanaman yang tua dan dari tanaman hasil grafting tersebut dapat diisolasi eksplan yang mempunyai umur fisiologi yang jauh lebih muda.
Umur fisiologi yang paling muda mempunyai keberhasilan yang lebih tinggi dalam menginduksi kalus atau organ lain. Hal ini berhubungan dengan juvenilitas eksplan. Bagian tanaman yang dipergunakan sebagai sumber eksplan juga mempengaruhi senyawa yang dihasilkan. Selanjutnya, sumber eksplan yang dipilih kadang-kadang perlu diberikan “pre treatment” sebelum digunakan dalam kultur in vitro. Pre treatment ini mencakup antara lain musim dimana sebaiknya bahan tanaman diambil, pemberian hara tanaman tertentu untuk merangsang juvenilitas pada tanaman misalnya dengan pemberian nitrogen, menanam pada kondisi gelap untuk mendapatkan tanaman yang terisolasi, dan pemberian zat pengatur tumbuh tertentu pada eksplan sesudah diisolasi tapi belum ditanam pada media perlakuan untuk meningkatkan respon tanaman terhadap perlakuan yang diberikan.
4.      Faktor Stress lingkungan (logam berat, elicitor, sinar UV).
Menurut Santoso dan Nursandi (2001) sebagian besar senyawa metabolit sekunder diekstrak dari spesies-spesies tumbuhan yang dibudidayakan secara in vivo, namun cara tersebut mempunyai kelemahan, diantaranya pengaruh musim, senyawa kimia tertentu hanya dihasilkan pada umur tertentu pada tanaman tertentu, dan lahan pertanian yang semakin terbatas. Oleh karena itu, diperlukan budidaya alternatif untuk produksi senyawa-senyawa sekunder.
Menurut Mattel dan Smith (1993), agar produksi metabolit sekunder tinggi maka perlu optimasi faktor-faktor internal dan eksternal. Optimasi faktor tersebut dapat dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pertumbuhan dan tahap produksi. Pada tahap pertumbuhan, kondisi kultur diarahkan untuk memproduksi biomassa sel dalam waktu dekat, sedangkan tahap produksi dilakukan pemindahan biomassa sel ke dalam medium produksi dengan tujuan pengkondisian kultur untuk produksi metabolit sekunder. Selain optimasi pada kedua tahap di atas, pendekatan lain yang dapat dilakukan secara efektif untuk meningkatkan produksi biomassa sel dan metabolit sekunder adalah penambahan prekursor (prazat), elisitasi dan amobilisasi.

D.    Usaha-Usaha Memperbaiki Produksi Metabolit Sekunder
Usaha-Usaha Memperbaiki Produksi Metabolit Sekunder
1.      Penggunaan Fusi Sel Untuk Produksi Senyawa Metabolit Sekunder
Minat yang besar dalam memproduksi senyawa-senyawa yang berguna seperti alkaloid, steroid, vitamin dan pigmen sangat meningkat dengan perkembangan teknologi sel tanaman. Beberapa usaha untuk menghasilkan senyawa-senyawa metabolit pada skala industri sudah dilaporkan (Curtin, 1983).
Metabolit sekunder dihasilkan oleh kultur sel tanaman. Kultur protoplast juga sudah digunakan untuk pemuliaan tanaman, untuk mendapatkan muatan yang resisten terhadap obat-obatan, dan auxotrof serta untuk hibridisasi somatik. Sebagian besar tanaman yang dipelajari berasal dari genus solanaceae. Kultur protoplast penting untuk menyeleksi sel tunggal yang mengandung metabolit sekunder dalam jumlah tinggi.
Yamada (1985) sudah mengkulturkan protoplast (klon sel tunggal) dari sel Coptis yang memproduksi sejumlah besar berberine. Dari protoplast tersebut kemudian berhasil diinisiasi koloni kalus dan kandungan berberinnya dianalisis. Kemudian didapatkan bahwa sel yang berasal dari protoplast mempunyai kandungan berberin yang serupa dengan sel induknya. Pertumbuhan lini sel dari protoplast lebih besar dari pada lini sel induknya. Hal yang menarik adalah lini-lini sel yang berasal dari protoplast menunjukkan variasi kromosom meskipun setiap klon diturunkan dari protoplast tunggal.
Tanaman tingkat tinggi adalah organisme multiseluler yang terdiri dari sel-sel, jaringan yang berdiferensiasi. Sel-sel yang berdiferensiasi mempunyai potensi untuk memproduksi senyawa spesifik dalam jumlah dan kelakuan yang stabil. Dalam hal ini, sel tumbuhan berbeda dari sel mikroorganisme, seperti bakteri yaitu cloning sel tunggal dapat dilakukan dengan sangat efektif untuk mendapatkan sel yang mempunyai karakter yang spesifik. Diferensiasi metabolit sekunder menggunakan metoda seleksi yang dipilih harus berbeda dari metoda seleksi yang digunakan untuk mengisolasi sel tunggal yang mampu menghasilkan metabolit sekunder dalam jumlah besar. Produktivitas metabolit sekunder yang dihasilkan dengan kultur sel adalah fungsi dari jumlah metabolit pada sel dan kecepatan pertumbuhan sel. Dengan mempergunakan kultur protoplast, hal ini penting untuk mendapatkan sel yang tumbuh sangat cepat akan menghasilkan hibridoma tanaman.
2.      Seleksi sel
Seleksi Klon pada kultur jaringan tanaman telah digunakan untuk mendapatkan lini sel yang menghasilkan produk metabolit sekunder dalam jumlah besar. Seleksi ini telah berhasil meningkatkan metabolit sekunder pada beberapa sel tanaman. Pada tanaman Morinda citrifolia seleksi telah meningkatkan produksi anthraquinone 10 kali lebih tinggi dari pada tanaman dilapang (Zenk et al., 1975). Pada tanaman ubi jalar, sel yang menghasilkan antosianin tinggi juga dihasilkan dengan cara seleksi kultur kalus (Nozue et al., 1986). Sedang pada tanaman Polygonum tinchtorium Ait, seleksi agregat telah meningkatkan kandungan antosianin 4 kali kultur tanpa seleksi pada kultur suspensi sel telah menghasilkan 10 kali lebih tinggi (Ernawati et al., 1991 a, b). Yamamoto et al.,(1982) melaporkan bahwa seleksi lini sel pada Euphorbia millii meningkatkan kandungan antosianin tujuh kali lebih tinggi dari kandungan awalnya. Demikian juga Yamada dan Sato (1981) mendapatkan lini sel Coptis japonica yang menghasilkan berberine yang lebih tinggi dari pada tanaman aslinya.
Dasar dari seleksi pada kultur jaringan untuk menghasilkan senyawa metabolit sekunder adalah adanya variasi pada sel-sel dalam kemampuannya untuk menghasilkan senyawa tertentu. Variasi ini dikenal sebagai variasa somaklonal dan secara genetik variasi ini cukup besar sehingga telah terbukti dapat dimanfaatkan sebagai sumber keragaman untuk menghasilkan senyawa tertentu. Variasi somaklonal ini dapat diperoleh dari kultur sel yang berasal dari protoplast atau cara-cara lain.
Jenis seleksi yang digunakan relatif spesifik tergantung jenis senyawa yang dihasilkan. Jenis senyawa yang dihasilkan ini menentukan desain metode seleksi dan memilih lini sel untuk digunakan. Hal mendasar yang harus diketahui adalah inisiasi kultur awal harus mempertimbangkan spesies dan kultivar yang menghasilkan senyawa bersangkutan.
Cara mendesain seleksi yang harus dipertimbangkan tidak hanya aspek biokimia dari senyawa yang diinginkan dan spesies tanaman yang dikulturkan, tapi jenis kultur yang dipakai.
Penggunaan kultur kalus pada banyak study dibatasi oleh kontak langsung sel dengan medium, karena sel-selnya berikatan sate sama lain. Dalam hal ini juga sulit untuk melakukan pemindahan atau sub kultur yang seragam baik jumlah atau massa sel maupun keseragaman tipe sel jika memindahkan sekelompok kecil dengan spatula.
Selain kultur kalus, sistem yang telah digunakan adalah sistem kultur suspensi sel. Sistem kultur suspensi mempunyai keuntungan-keuntungan tertentu mencakup:
1)      Kecepatan pertumbuhan yang lebih cepat
2)      Transfer atau sub kultur sel relative homogeny
3)      Sel-sel yang ada dapat diamati dengan mikroskop karena merupakan sel-sel bebas
4)      Medium cair berada dalam kontak langsung dengan setiap sel
5)      Medium dapat diperbaharui dengan mudah dengan penambahan medium baru
6)      Sel-sel dapat diplating secara langsung
Sistem kultur suspensi sudah digunakan untuk menyeleksi lini-lini sel yang resisten terhadap asam amino (Gathercole dan Street, 1976; Palmer dan Widholm, 1975; Widholm, 1972; Widholm 1974) dan NaCl (Nabors et al, 1975). Emawati et al. (1991 b) jugs mempergunakan sistem ini untuk mendapatkan lini yang menghasilkan antosianin.
Seleksi Klon adalah teknik yang sangat berguna, sebuah sel berasal dari sebuah sel tunggal sehingga sel-sel dalam satu mempunyai informasi genetik yang sama. Hal ini sangat penting untuk memastikan kemurnian dan stabilitas lini¬lini yang diinginkan. Tetapi pada umumnya teknik pengklonan ini sangat tidak efisen untuk dikerjakan secara rutin. Salah satu sistem yang mungkin digunakan adalah mikrospora yang diisolasi dari Nicotiana tabacum, Nicotiana sylvestris dan Datura innoxia sudah diinduksi untuk membentuk embrio dan kemudian menjadi tanaman. Sistem ini memungkinkan isolasi sel tunggal, yaitu sel-sel haploid yang mungkin sangat berguna untuk seleksi. Kesesuaian teknik ini tergantung pada jumlah embrio yang dapat diperoleh. Nitsch (1977) mendapatkan bahwa rata-rata 5% dari mikrospora Nicotiana tabacum berkembang menjadi platlets. Karena terdapat 5 anther pads setiap bunga, dan setiap anther mengandung 30.000 mikrospora, maka rata-rata 7000 plantlet dapat diproduksi dari setiap, bunga. Karena itu terdapat sejumlah besar dari embrio yang sedang berkembang dapat diperoleh dengan sistem ini. Kenyataan sampai saat ini adalah bahwa tidak mudah bekerja dengan set tumbuhan bila dibandingkan dengan mikroba. Sel-sel tumbuhan umumnya tumbuh dengan sangat lambat, untuk agregat sel, jika diplating tidak akan tumbuh bila kerapatannya rendah dan menunjukkan ketidakstabilan kromosom dan ploidy. Kesulitan-kesulitan ini tidak mengecualikan manipulasi sel-sel tanaman yang sukses, tetapi menyebabkan lambatnya kemajuan.
3.      Penggunaan Elicitor untuk Produksi Metabolit sekunder
Elisitasi adalah suatu metode untuk meningkatkan fitoaleksin dan metabolit sekunder lainnya dengan menambahkan berbagai elisitor biotik maupun abiotik. Elisitasi merupakan proses penambahan elisitor pada sel tumbuhan dengan tujuan untuk menginduksi dan meningkatkan pembentukan metabolit sekunder. Selain itu, elisitasi merupakan suatu respon dari suatu sel untuk menghasilkan metabolit sekunder. Dalam hal ini adanya interaksi patogen dengan inang akan menginduksi pembentukan fitoaleksin pada tumbuhan. Fitoaleksin itu sendiri merupakan senyawa antibiotik yang mempunyai berat molekul rendah, dan dibentuk pada tumbuhan tinggi sebagai respons terhadap infeksi mikroba patogen. Senyawa yang merupakan bagian dari mekanisme tersebut dapat dianalogikan dengan antibody yang terbentuk sebagai respons imun pada hewan (Yoshikawa&Sugimito, 1993). Elisitor selain dapat menginduksi sintesis fitoaleksin, ternyata dapat juga menginduksi sintesis metabolit sekunder yang bukan fitoaleksin pada kultur kalus dan sel (Eilert et al 1986). Contoh elisitor yang berasal dari miselium Fusarium yang meningkatkan kadar tiopen hingga 300 % pada kultur akar rambut Tagetas putula.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kandungan metabolit sekunder dalam kultur yang dielisitasi antara lain macam elisitor, konsentrasi elisitor, waktu kontak elisitor dengan sel tumbuhan, galur sel yang digunakan, waktu penambahan elisitor dan fase pertumbuhan sel dalam kultur, serta nutrien yang digunakan dalam medium.
Konsentrasi elisitor merupakan salah satu faktor pembatas yang menentukan kandungan metabolit sekunder pada kultur jaringan yang dielisitasi. Hal ini menunjukkan bahwa pada membran plasma terdapat reseptor untuk elisitor dengan jumlah tertentu, sehingga untuk meningkatkan kandungan katarantin diperlukan konsentrasi elisitor yang optimum (Buitelaar et al., 1991).
Sebuah pendekatan lain untuk memperbaiki produk yang dihasilkan pada kultur sel tanaman adalah alterasi metabolisme sel melalui faktor eksternal, misalnya stress. Kultur sel tanaman pada dasarnya bersifat totipotensi karena itu semua produk yang ada pada tanaman induk seharusnya juga disinetsi pada kultur dalam kondisi yang tepat. Pada interaksi antara tanaman inang dengan pathogen yang biasanya bersifat spesifik species, infeksi pathogen menginduksi pembentukan produk (fitoaleksi) yang toksik terhadap organism yang menginvasi. Enzim dari metabolisme sekunder juga diinduksi oleh pathogen yang menginvasi yang menghasilkan fitoaleksin. Dalam hal ini elicitor berperan penting dalam menginduksi enzim yang terlibat dalam siklus metabolisme.
Elicitor yang dipakai dapat berupa fraksi karbohidrat yang diambil dari kultur suspense cendawa atau ekstrak yeast, atau lebih dikenal sebagai glucas. Struktur glucan yang diperlukan untuk aktivitas elicitor adalah (1,6)-B-B-glucopyranosyl. Sedang molekul aktif terkecilnya adalah glukoheptose.
Dosis elicitor yang dipakai juga menentukan efektivitasnya dalam menginduksi senyawa yang diinginkan. Dosis yang terlalu tinggi menyebabkna timbulnya gejala nekrosa yaitu terjadinya pencoklatan sel. Dosis yang tepat dapat ditentukan dengan percobaan, dan tergantung pada jenis elicitor yang dipakai serta sel tanaman yang diberi perlakuan. Pada kultur suspense sel kedelai, elicitor yang diberikan berasal dari cendawan Phytopthora mega sperma, dan dosis yang diberikan adalah untuk 20 μg elicitor per mg berat kering sel untuk menginduksi sintesis senyawa-senyawa yang merupakan isomer glyceollin. Apabila elicitor yang dipakai berasal dari ekstrak yeast, konsentrasi yang dipakai adalah 5,2 mg/ml dari ekstrak yang sudah dianalisis. Pada kultur Tabernaemonta sp, dosis yang dipakai adalah 100mg cellulase, atau 100gr pectinase atau 100 mg suspense Mycellium aspergillus niger untuk menghasilkan indole alkolodi apparicine sebagai salah satuu produk utama. Pada kultur suspense thalictrum rugosum dosis elicitor 200 μg/g berat basah sel menghasilkan berberin maksimum.
Pemberian elicitor dapat dilakukan pada berbagai fase pertumbuhan sel, tetapi nampaknya tidak terdapat keserupaan antara sel yang diberi perlakuan elicitor dengan sel tanpa perlakuan elicitor. Pada kultur thalictrum rugosum, berberine dihasilkan berasosiasi dengan pertumbuhan sel. Tetapi pada kultur sel yang diberi elicitor produk berberin tertinggi dipakai apabila elicitor pada fase lag tidak mengakibatkan terjadinya peningkatan produksi berberin. Pemberian pada fase stasioner mengaskibatkan terjadinya penurunan berat kering total yang lebih besar daripada pemberian pada fase pertumbuhan eksponensial, tetapi pemberian pada kedua fase ini meningkatkan hasil berberin. Perbedaan ini mungkin terjadi pada sel-sel yang berada pada fase awal pertumbuhan, sel tidak memproduksi tyrosine atau prekutsor-prekursor lain yang terlibat pada sintesa berberin. Sebab lain mungkin enzim-enzim yang bertanggug jawab pada sintesa berberin tidak diinduksi pada sel-sel muda tersebut. Pada kultur sel Tabernae Montana elicitor diberikan pada saat kultur berumur 10 hari yang merupakan fase akhir pertumbuhan ekponensial. Pada kultur suspense sel tembakau pemberian elicitor dilakukan pada fase pertumbuhan eksponensial.
Frekuensi pemberian elicitor juga dapat dilakukan lebih dari satu kali, teragantung pada jenis sistem yang digunakan dan juga jenis tanaman yang dikulturkan. Pada kultur Papaver somniverum L. yang dikulturkan dengan proses semi continous, elicitasi dengan sanguinarine (SGE) dan dihydrosanguinarine (DSGE). Elisitas yang sama, hanya mediumnya yang diganti. Elicitasi kembali ini menunjukkan peningkatan sensivitas kultur terhadap elicotir yang diberikan (pertumbuhan menurun, produknya meningkat). Hal ini membawa harapan untuk memudahkan dalam penyusunan sistem produksi secara besar-besaran. Pada kultur suspense tanaman lainnya elicitor diberikan hanya sekali pada sel yang sama.
Waktu yang diperlukan oleh sel untuk menghasilkan produk dalam jumlah maksimum setelah pemberian elicitor berbeda-beda tergantung jenis kulturnya. Pada kultur suspense sel tembakau, capsidiol mencapau jumlah maksimum antara 15 samapai 20 jam sesudah sel diberi perlakuan elicitor. Pada kultur T. rugosum, berbeda mencapai jumlah maksimal 120 jam sesudah kultur diberi perlakuan elicitor. Sedang pada kultur Papever somniforum L. SGE dan SDGE dipanen dari sel sesudah sel berumur 14 hari setelah diberi perlakuan. Pada kultur Tabernaemontana spp. pemanenan dilakukan pada saat kultur berumur 4 hari setelah kultur diberi perlakuan elicitor. Hal ini menunjukkan bahwa waktu yang diperlukan untuk menghasilkan senyawa metabolit sekunder tidak tergantung pada konsentrasi elicitor.
Suatu hal yang menarik, pemberian elicitor mampu menaikkan hasil pada produksi senyawa yang diinginkan dan juga menghasilkan senyawa yang tidak dihasilkan oleh kultur tanpa elicitor. Pada kultur suspense sel tembakau, sel yang diberi perlakuan elicitor menghasilkan capsidiol lebih dari 10 μg/g berat basah pemberian elicitor pada kultur Thalictrum rugosum menghasilkan berberin 4- 4,5% berat kering, sedang kultur yang sama tanpa elicitor hanya menghasilkan berberin 0,5% berat kering kultur. Pada kultur Tabernaemontana sp, pemberian elicitor selain meningkatkan produksi de novo zat bioaktif antimikroba yang tergolong triterpene, juga meningkatkan berat basah total. Sedang pada kultur Papever somniforum L.
Elisitor terdiri atas dua kelompok, yaitu elisitor abiotik dan elisitor biotik
a.       Elisator abiotik, bisa berasal dari senyawa anorganik , radiasi secara fisik, seperti ultraviolet, logam berat, dan detergen
b.      Elisator biotic dapat dikelompokkan dalam elisator endogen, dan elisator eksogen, yaitu :
1)      Elisator endogen, umumnya berasal dari bagian tumbuhan itu sendiri, seperti bagian dari dinding sel (poligogalakturonat) yang rusak. Rusaknya dinding sel ini, disebabkan oleh suatu serangan pathogen. Dinding sel yang rusak dan terluka oleh karena aktivitas enzim hidrolisis dari serangan pathogen.
2)      Elisator eksogen, bisa berasal dari dinding jamur misalnya kitin, atau glukan. Selain itu dapat berupa senyawa yang disintesis, misalnya protein ( enzim ) ( Salisburry & Ross, 1995 ).
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa metode elisitasi dapat meningkatkan kandungan fitoaleksin dan metabolit sekunder lain pada tumbuhan tertentu. Kandungan fitoaleksin kapsidiol pada kultur sel Capsicum annuum dapat ditingkatkan setelah diberi penambahan ekstrak dari spora dan miselium Gliocladium deliquescens
2 Antosianin pada kultur sel Daucus carota dapat ditingkatkan setelah diberi penambahan filtrat sel dan homogenat dari Escherichia coli, Staphyllococcus aureus, Saccharomyces cereviseae, dan Candida albicans.
Kegunaan elisitasi adalah
a.       untuk menginduksi dan meningkatkan pembentukan metabolit sekunder.
b.      Meningkatkan aktivitas atau kelompok enzim spesifik yang mengkatalis reaksi biokimia yang diinginkan ( Roberts, 2005).
c.       Sebagai strategi dalam menginduksi dan meningkatkan pementukan metabolit sekunder.
d.      Dapat meningkatkan aktivitas enzim- enzim yang berkaitan dengan pembentukan metabolit sekunder.
Kerugian adalah
a.       Prosedur kompleks, misal untuk mendapatkan hasil maksimum diperlukan kultur dengan dua tahap.
b.      Kadar konsentrasi elisitor harus optimum, konsentrasi elisitor adalah titik kritis dalam keberhasilan elisitasi. Jika penambahan kurang tepat malah akan mengurangi produksi metabolit sekundernya.
c.       Sulit untuk meningkatkan produksi dua atau lebih metabolit sekunder yang kita inginkan dalam sati sistem elisitasi.
d.      tidak semua metabolit sekunder yang dihasilkan berupa fitoaleksin sehingga dapat mengganggu peningkatan produksi metabolit sekunder.
e.       Karena pemberian elisitor yang menyebabkan luka sehingga nutrisi yang terdapat dalam tanaman digunakan untuk menutupi luka, akibatnya tidak ada nutrisi yang digunakan untuk pertumbuhan sel serta jika penambahan elisitor terlalu banyak, justru akan mengurangi pertumbuhan sel, hal itu disebabkan adanya pengaruh feedback inhibition
f.       Membutuhkan senyawa spesifik untuk setiap metabolit sekunder (Verpoorte et al,1994).

E.     Hasil Penelitian

Hasil penelitian dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional dan Badan Penelitian dan Pengembang Kesehatan Kementerian Kesehatan RI yang berjudul Pengaruh Penambahan Sitokinin Pada Senyawa Flavonoid Kalus (Echinacea Purpurea L) mendapatkan hasil penetapan kadar flavonoid total dari kalus dan tanaman Echinacea purpurea L hasil perlakuan dengan BAP 3 mg/l diperoleh 0,29%, pada BAP 4 mg/l diperoleh 0,28% dan pada tanaman asal juga 0,28%. Kadar flavonoid tersebut menunjukkan hasil yang hampir sama antara hasil induksi kalus dengan tanaman asal, bahkan pada BAP 3 mg/l terjadi peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa kalus daun yang diperoleh secara kultur jaringan dapat digunakan sebagai alternatif untuk menghasilkan metabolit sekunder.

Tidak ada komentar: